Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang
terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang
satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi
riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau
Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu
kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya,
kemanan dan kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .
Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level antara lain :
~ Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.
~ Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.
~ Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.
~ Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang
didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada
ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami
perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.
Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
- Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat. Yaitu hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu. Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
- Hukum kebiasaan. Yaitu hukum
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan
antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan
dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam
bentuk perundangan.
Ciri-ciri hukum adat adalah :
1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2. Tidak tersusun secara sistematis.
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4. Tidak tertatur.
5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :
1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan
lingkungan sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga
(perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di
masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang
mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan
sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama
(disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).
Semua suku
bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural
maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang
mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama
atau kepercayaan.
Melihat dalam perspektif keberadaan
kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk
keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong
(partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai
gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan
padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi,
transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah
diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat
memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang
dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat
terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak
mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat Adat
didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta
memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan
wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat
jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan
(liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus
di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri,
dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan
berlaku bagi kelompok tersebut.
Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970
tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur
dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur
kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin
tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang
Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem
pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang
sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat
hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai
komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.
Jauh
sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui
telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya
masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu
kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang
terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik,
sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem
Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan
dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di
Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL
IKA" yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah
satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.
Namun pada
kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih
seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses
mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi
dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri
ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di Irian akibat eksploitasi
pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya
eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat
eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Sebaiknya
sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang
layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah
sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia
tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa,
merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad.
Oleh karena itu, maka tidap bangsa didunia ini memiliki adat
kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama.
Justru oleh karena ketidak samaan itu kita dapat mengatakan bagwa adat
itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kedpa
bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan
yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang
hidup dalam masyarakat; paling-paling yang terlihat dalam proses
kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan
keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap
segar.
Ditegaskan bahwa Adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakatm
yaitu bahwa : kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan
yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
Meskipunm ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah
kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang
menurut hukum di larang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan
bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya
dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa
yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan,
diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Melacak asal muasal hukum adat adalah dengan cara memahami akar
dimana kaidah-kaidah kesusilaan itu diakui dan diyakini mempunyai daya
mengikat dan memaksa bagi masyarakat adat. Dengan demikian kaidah-kaidah
kesusilaan atau norma yang mereka yakini tersebut menjadi baku dan
kokoh sehingga menjadi hukum adat. Norma dan hukum mempunyai hubungan
dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Dengan demikian maka
dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang
tidak selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian juga
dengan hukum Adat; teristimewa disini dijumpai perhubungan dan
persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya
hubunghan antra Hukum dan Adat yaitu sedemikian langsungnya sehingga
istilah buat yang di sebut “Hukum Adat” itu tidak dibutuhkan oleh rakyat
biasa yang memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu, atau dalam
artinya sebagai (Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Hukum adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran
hukum. Oleh karena itu para ahli hukum mengatakan “memang hukum
keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur, tidak semurna, tidak
tegas. Oleh orang asing hukum adat dianggap sebagai peraturan-peraturan
“ajaib” yang sebagian simpang siur. Karena sulit dimengerti. Dan oleh
karena ketidak tahuan itu mereka menyebutnya demikian.
Apabila mau
mencermati urat akar hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh
perasaan maka sebenarnya banyak hal yang mengagumkan, yaitu
adat-istiadat dahulu dan sekarang, adat-istiadat yang hidup, yang
berkembang serta yang berirama.
Memang tidak semua kebiasaan-kebiasaan, tradisi, atau adat itu
merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat-istiadat/tradisi dengan hukum
adat. Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya
adat yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat.
Sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan.
Reaksi adat masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya
sudah barang tentu dilakukan oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud.
Penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya
terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan keputusan hukum. Hukum
adat disebut hukum jika ada dua unsur didalamnya.pertama, Unsur
kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh
rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya keyakinan pada
rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya sanksi
yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan
kewajiban hukum (
opinio yuris neccessitatis)
Sumber : http://hukum.unigo.ac.id/berita-29/hukum-adat-di-indonesia.html