Minggu, 04 Desember 2016

Menjelaskan tradisi dalam keluarga sendiri berdasarkan agamanya masing-masing

Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .

Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level  antara lain :

~ Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.

~ Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.

~ Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.

~ Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.

Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :


  1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat. Yaitu hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu. Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
  2. Hukum kebiasaan. Yaitu hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.
Ciri-ciri hukum adat adalah :

1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2. Tidak tersusun secara sistematis.
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4. Tidak tertatur.
5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.

Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :

1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan  sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.

2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.

3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).

Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.

Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).

Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.

Masyarakat Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.

Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.

Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.

Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.

Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.

Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Oleh karena itu, maka tidap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidak samaan itu kita dapat mengatakan bagwa adat itu  merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kedpa bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap segar.
Ditegaskan bahwa Adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakatm yaitu bahwa : kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipunm ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan, diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Melacak asal muasal hukum adat adalah dengan cara memahami akar dimana kaidah-kaidah kesusilaan itu diakui dan diyakini mempunyai daya mengikat dan memaksa bagi masyarakat adat. Dengan demikian kaidah-kaidah kesusilaan atau norma yang mereka yakini tersebut menjadi baku dan kokoh sehingga menjadi hukum adat. Norma dan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Dengan demikian maka dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian juga dengan hukum Adat; teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya hubunghan antra Hukum dan Adat yaitu sedemikian langsungnya sehingga istilah buat yang di sebut “Hukum Adat” itu tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang  memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu, atau dalam artinya sebagai (Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Hukum adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh karena itu para ahli hukum mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur, tidak semurna, tidak tegas.  Oleh orang asing hukum adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian simpang siur.  Karena sulit dimengerti. Dan oleh karena ketidak tahuan itu mereka menyebutnya demikian.
Apabila mau mencermati urat akar hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh perasaan maka sebenarnya banyak hal yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat dahulu dan sekarang, adat-istiadat yang hidup, yang berkembang serta yang berirama.
Memang tidak semua kebiasaan-kebiasaan, tradisi, atau adat itu merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat-istiadat/tradisi dengan hukum adat.  Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya adat yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan. Reaksi adat masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua unsur didalamnya.pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan kewajiban hukum (opinio yuris neccessitatis)

Sumber : http://hukum.unigo.ac.id/berita-29/hukum-adat-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar